Selain "Jurnal Merah Putih", salah satu bentuk output dari PPMI Kota Malang adalah "Media Online". Media Online ini berisi mengenai Isu-Isu ataupun Opini yang sedang menjadi "trending topic" di Kota Malang dan sekitarnya.

Pendidikan Kita, Milik Siapa?

Oleh. Fitri Aulia
DEN PPMI (UAPM INOVASI)


Kiblat Pendidikan ada dimana?

Kapitalisme dengan segala bentuk penindasan pengkelasannya, sampai abad 21 ini, sama sekali tak juga mampu dipisahkan dari kehidupan manusia, bahkan menyatu dalam masa yang disebut era kapitalisme. Era kapitalisme disebut juga zaman modern, manusianya disebut masyarakat modern. Modernisme, sering dijadikan pijakan gaya hidup manusia masa kini. Parahnya tidak hanya eksis dalam proses produksi seperti saat lahirnya, kapitalisme bahkan semakin berkembang dan mewujud ke dalam segala lini, proyek besar itu mula-mula merembet ke perihal kebudayaan, hingga sampailah kepada pendidikan.

Bukti kecil pendidikan menjadi proyek kapitalisme, bisa dilihat dari, eksistensi aliran pemikiran rasionalisme, empirisme, positivisme, termasuk saintisme, menjadi trend pengetahuan yang tak pernah bisa lepas dari ruang diskusi akademik, bahkan mewujud menjadi barang sakral yang tidak boleh diabaikan. Singkatnya, di era kapitalisme ini, pendidikan tengah sekonyong-konyong membangun kesadaran peserta didik dengan struktur pengetahuan dan sistem sosial yang sedang berlaku. Dampaknya hampir seluruh manusia menjadi konsumen yang (me)wajib(kan) dirinya menganut sebuah regulasi sistem pengetahuan dan sistem sosial yang telah diciptakan sebelumnya, tanpa sedikitpun kesempatan mencipta, atau sekedar acuh kemudian berani menolaknya.

Entah sadar atau tidak, kapitalisme yang dimaki sebagian besar manusia dulunya, justru kini dijadikan satu kiblat yang sah oleh segenap manusia, toh ujung-ujungnya banyak yang dengan bangga menyebut diri sebagai masyarakat modern. Akibatnya, pendidikan pun dirubah kiblatnya menjadi pendidikan modern. Padahal modernisme pendidikan konkret membawa preseden, yang mengakibatkan ketimpangan serta ketidakadilan, dan tidak jauh dari pola-pola penguasaan dan penindasan.

Maka sejak saat itu, menjadi resmilah terminologi korporasi menjadi terminologi pendidikan nasional kita hari ini. Dalam bukunya Pendidikan Kritis Transformatif (2009:10) Muhammad Karim menegaskan, bahwa keadaan seperti itulah yang menjadikan pendidikan Indonesia tidak pernah lepas dari keterukuran, kompetensi, produktivitas, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), sertifikasi, standarisasi, standar nasional, sampai kepada standar internasional.


Surat Edaran Dikti, Bukti Pengesahan Terminologi Korporasi

Lagi-lagi Dikti latah dengan kondisi pendidikan di negara-negara lain. Diawali dengan kegelisahannya setelah mengetahui kecilnya jumlah jurnal yang dihasilkan oleh perguruan tinggi Indonesia dibandingkan negara-negara tetangga; Malaysia dan Singapura. Apalagi saat mengetahui Indonesia meraih peringkat ke 64 dari 236 negara, jauh dari Amerika serikat yang menduduki peringkat pertama. Akhirnya tanpa ragu Dikti mengeluarkan surat edaran tertanggal 27 Januari 2012. Surat edaran tersebut disebarkan merata ke seluruh rektor/ketua/direktur PTN/PTS seluruh Indonesia dan berlaku sejak Agustus 2012. Surat edaran bernomor 152/E/T/2012 itu dijadikan upaya yang paling tepat untuk mengejar standar internasional lulusan, karena seluruh calon sarjana S1/S2/S3, harus menerbitkan karya ilmiahnya dalam bentuk jurnal, dimulai dari jurnal tingkat local sampai tingkat internasional bagi S3.

Sebenarnya, kejadian latah yang dilakukan Dikti tidak hanya saat mengeluarkan surat edaran ini saja. Namun jauh-jauh hari, tepatnya sekian tahun yang lalu, saat mengeluarkan PP No. 19 tahun 2005, yang melahirkan 8 SNP (Standar Nasional Pendidikan). Dalam standar ini, disusunlah berbagai macam kriteria kelayakan pelaksanaan pendidikan oleh Dikti. Mulai dari standar isi, standar kurikulum, standar sarpras, standar pendanaan –yang menginspirasi lahirnya produk sistem otonomi pendanaan serupa UU BHP (Badan Hukum Pendidikan)—, serta berbagai standar lainnya. Kondisi ini diperparah dengan turut serta dibentuknya Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), sebagai pengemban amanah untuk memantau, mengevaluasi pelaksanaan standar-standar di atas.

Terminologi korporasi yang memang telah diamini oleh seluruh manusia, memang dengan cepatnya mampu membuat suatu bangsa melupakan esensi dari makna kekayaan lokalitas suatu bangsa, termasuk pemahaman dasar tentang esensi pendidikan itu sendiri.

Kiranya kita semua masih ingat, warisan pendidikan yang digaungkan oleh tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara bahwa, Tujuan utama pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Agaknya sekarang semboyan ini mulai tidak laku lagi, setelah tergesernya oleh berbagai tumpuk kebijakan pendidikan yang lebih diminati, seperti pendidikan untuk mencetak para wirausahawan, atau yang bisa mencetak lulusan yang mampu diserap di berbagai perusahaan besar tingkat dunia, menguasai IT, dan mampu nyemplung di samudera pasar modal, serta berbagai produk modernitas lainnya.

Jika berani merenung, betapa banyaknya praktek pengingkaran yang telah dilakukan selama proses pendidikan berlangsung. Setiap anak manusia yang penuh fitrah (pikiran, budi, kehendak, emosi, bakat, talenta, kreativitas, dan bebas untuk mengembangkan dirinya) benar-benar dipasung, dan dipaksa menuruti setumpuk kurikulum produk modernisasi pendidikan. Bagaimana tidak, tempat belajar anak manusia ini telah mengarahkan kiblatnya serta menghambakan diri pada arus modernisme pendidikan.

Bukan tidak mungkin, impian baru Dikti dengan mengeluarkan edaran terbarunya dengan dalih meningkatkan pendidikan di Indonesia, tidak akan memberikan manfaat apapun bagi anak  bangsanya, kecuali memperkuat proyek modernitas itu sendiri.[]



No Response to "Pendidikan Kita, Milik Siapa?"

Posting Komentar