Selain "Jurnal Merah Putih", salah satu bentuk output dari PPMI Kota Malang adalah "Media Online". Media Online ini berisi mengenai Isu-Isu ataupun Opini yang sedang menjadi "trending topic" di Kota Malang dan sekitarnya.

Kuantitas Tidak Sama Dengan Kualitas

oleh: Ainun Ni’matu Rohmah
LPM Perspektif

Postingan di laman sebuah jejaring sosial pada 12 Februari 2012 lalu, mendapat respon komentar yang cukup fantastis. Postingan itu berisi hasil scanning surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) tentang pemberlakuan kewajiban publikasi karya ilmiah. Bagi mahasiswa, “surat cinta” Dikti itu bukanlah aturan biasa. Terbilang mengejutkan, sebab aturan tersebut akan menentukan dan mungkin menantang kerja lebih keras dalam meraih gelar Sarjana.
Ya, seperti menunggu matahari terbit yang pasti akan muncul, peraturan teranyar Dikti itu mulai menghasilkan polemik. Tidak hanya umpatan sesal di situs jejaring sosial, kini beberapa pihak terkait bahkan mengambil langkah nyata menanggapi SK Dirjen DIKTI No.152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012. Salah satunya datang dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) yang dengan tegas memboikot aturan tersebut. Alasannya peraturan tersebut justru akan menyebabkan keresahan mahasiswa, pembuatan jurnal yang asal-asalan bahkan memperlambat kelulusan sarjana baru.
Namun, Dirjen Dikti Kemendikbud Djoko Santoso justru tenang mendengar protes asosiasi yang menjadi payung sekitar 3.150 PTS seluruh Indonesia itu. Dalam sebuah edisi surat kabar terkemuka, Djoko Susilo justru berstatemen, “Pada akhirnya, masyarakat bisa menilai ternyata sarjana jebolan kampus negeri lebih unggul daripada kampus swasta karena sarjana lulusan kampus negeri mampu menulis karya ilmiah yang dimuat di jurnal ilmiah.”
Selama ini, karya ilmiah dianalogikan sebagai nyawa pendidikan tinggi. Jika qualified maka bagus juga lulusannya. Sayangnya, kebanyakan calon sarjana hanya menuangkan  ide-ide kreatif ketika “dipaksa” menulis tugas akhirnya, skripsi, disertasi, thesis. Sementara selama kuliah, mahasiswa tidak secara merata digiring untuk tertarik dengan penulisan ilmiah. Akibatnya, jumlah karya ilmiah di Indonesia sangat rendah.
Berdasarkan data Scimagojr, Journal & Country Rank periode 1996 – 2010, jumlah publikasi karya ilmiah di Indonesia menempati peringkat 64 dari 236 negara  sementara negeri tetangga Malaysia berada di urutan 43. Posisi pertama diduduki Amerika Serikat dengan 5,3 juta publikasi. Fakta inilah yang menjadi satu alasan utama pemberlakuan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para calon lulusan sarjana setelah medium Agustus 2012.
Jika mencari kuantitas karya ilmiah, mewajibkan peraturan ini sebagai syarat kelulusan bisa menjadi pecutan keras bagi perguruan tinggi di Indonesia. Namun, jika mencari kualitas lulusan, tampaknya sangat tidak bijak ketika peraturan ini diberlakukan secara menyuluruh lulusan perguruan tinggi, termasuk swasta. Sikap dingin Kemendikbud akan protes yang dilayangkan Aptisi tampak tidak objektif demi peningkatan kapabilitas lulusan sarjana. Masalahnya, bukan pada tujuan mulia peraturan tersebut. Namun pada implementasi kepada mahasiswa dan kemampuan masing-masing dari 3.233 perguruan tinggi di Indonesia, dimana hanya 2.6% diantaranya merupakan Perguruan Tinggi Negeri.
Perlu benar-benar diperhatikan kembali, bahwa surat edaran yang sifatnya cak cek ini, tidak akan menuai hasil yang baik, serta merta meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menulis di jurnal ilmiah. Di lain pihak, justru dapat memperlebar jurang ketimpangan kualitas lulusan antara universitas yang “mampu” menggembleng penulisan ilmiah, dengan universitas yang bahkan mempertahankan akreditas saja masih kewalahan. Jika pun kebijakan ini tetap dilaksanakan, rasanya lebih dulu perlu diadakan role model sebagai percontohan dan masa transisi yang cukup untuk melihat kapabilitas di lapangan. Sehingga masing-masing institusi perguruan tinggi telah benar-benar matang membudayakan kembali penulisan ilmiah di kehidupan kampus. []

No Response to "Kuantitas Tidak Sama Dengan Kualitas"

Posting Komentar