Selain "Jurnal Merah Putih", salah satu bentuk output dari PPMI Kota Malang adalah "Media Online". Media Online ini berisi mengenai Isu-Isu ataupun Opini yang sedang menjadi "trending topic" di Kota Malang dan sekitarnya.

Jurnal Ilmiah, Bukan Solusi Solutif Lulusan

Oleh: Zahra Mahdiatari
LPM Perspektif FISIP UB

Perguruan tinggi dikejutkan dengan Surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) bernomor 152/E/T/2012 mengenai publikasi jurnal ilmiah. Lulusan S-1 wajib mempublikasikan karya ilmiah di jurnal ilmiah, sementara karya ilmiah lulusan S-2 harus dimuat di jurnal ilmiah nasional, dan untuk lulusan S-3 harus dimuat di jurnal internasional. Peraturan tersebut akan berlaku sejak Agustus 2012.
Kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh ketertinggalan Indonesia dibanding Malaysia dan Thailand dalam produktivitas penerbitan tulisan ilmiah. karena untuk mengukur kualitas pendidikan di suatu negara juga dilihat dari banyaknya tulisan ilmiah yang diterbitkan. Sebagai intelektual muda, mahasiswa membuktikan eksistensi dirinya melalui karya tulis. Menurut data yang telah dikaji, sejak tahun 1996-2010, Malaysia menerbitkan sedikitnya 55.211 jurnal ilmiah, disusul dengan Thailand sebanyak 58.931, sementara Indonesia memiliki 13.047 tulisan atau sepertujuh dari jumlah yang dihasilkan oleh negara tetangga.
Selain itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh menyampaikan bahwa dipublikasikannya tulisan ilmiah bertujuan untuk menekan plagiasi tulisan orang lain. Mendikbud juga menambahkan bahwa masih banyak tulisan ilmiah yang memuat tulisan hampir sama. Publikasi tulisan ilmiah diharapkan dapat meneruskan penelitian yang sudah ada atau memunculkan penelitian baru sehingga dapat mengembangkan berbagai bidang keilmuan secara pesat.
Relevankah peraturan dengan keadaan?
Agaknya berbagai alasan Ditjen Dikti dalam mengeluarkan kebijakan melalui surat edaran tersebut patut diapresiasi. Bagaimana pun juga, ketertinggalan kita dari negara lain harus segera diakhiri, terutama dalam melahirkan generasi bangsa, harus segera ditingkatkan. Generasi bangsa tersebut perlu diberi motivasi untuk meningkatkan kualitas mereka secara akademis, dan salah satu upayanya adalah melalui tulisan ilmiah.
Namun kebijakan yang akan segera diberlakukan dalam waktu singkat ini menggiring bermacam tanggapan dan sejumlah pertanyaan. Mulai dari alasan Dikti yang terlalu tergesa-gesa dalam mengeluarkan kebijakan, surat edaran yang tidak jelas, serta mengapa publikasi tulisan ilmiah menjadi syarat kelulusan?.
Surat edaran yang dikeluarkan oleh Ditjen Dikti dinilai membingungkan karena tidak menjelaskan kebijakan secara lebih rinci. Misalnya mengenai ketentuan dan tata cara pelaksanaan, persyaratan teknis, maupun sanksi apabila kebijakan tidak diterapkan. Sejumlah perguruan tinggi malah belum mendapat sosialisasi mengenai kebijakan tersebut. Beberapa dari mereka justru mengetahuinya dari media massa. Surat edaran yang tidak jelas mengarahkan pada tafsir yang berbeda-beda dan pertanyaan lain terkait kebijakan tersebut.
Lebih janggal lagi adalah publikasi tulisan ilmiah menjadi salah satu syarat kelulusan. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wiendu Nuryanti, menyatakan bahwa mahasiswa saat ini kurang memiliki sikap pantang menyerah, kaitannya dalam proses akademis.
Selain berbagai permasalahan di atas, hal yang paling mendasar adalah, kesiapan dikti dalam mengawal pelaksanaannya, mulai dari fasilitas penunjang pelaksanaan sampai pada proses penerbitannya. Jika sedikitnya satu perguruan tinggi meluluskan minimal 1000 lulusan per tahun dikalikan jumlah perguruan tinggi seluruh Indonesia, berapa banyak jurnal yang harus diterbitkan?, Sebandingkah daya tampung jurnal dengan jumlah tulisan ilmiah yang akan dihasilkan mahasiswa?.
Jurnal Online saja tidak cukup
Meskipun Ditjen Dikti telah memberi alternative dengan cara publikasi lewat jurnal online untuk efisiensi dan efektifitas publikasi, namun apakah segala infrastruktur yang mendukung sudah dipersiapkan?. Padahal kondisi tiap perguruan tinggi berbeda, tentu daya dukung yang diperlukan juga tidak sama.
Mendikbud dan Ditjen Dikti seolah menggampangkan dan tidak mengacuhkan cara yang digunakan untuk merealisasikan kebijakan. Terbukti dari pernyataan Mendikbud perihal tulisan ilmiah yang dipublikasikan dapat berupa ringkasan skripsi atau hasil penelitian di lapangan. Lalu bagaimana dengan jurusan yang tidak mensyaratkan skripsi bagi mahasiswanya tetapi menggantinya dengan tugas akhir berupa studi lapangan, studi perbandingan, atau studi kasus? Padahal menurut Bisman Nababan, dosen IPB sekaligus tim pereview jurnal nasional dan internasional, ada berbagai persyaratan untuk menerbitkan tulisan ilmiah. Syarat itu antara lain memiliki nilai ilmiah, mengikuti kaidah penulisan ilmiah, tidak diajukan ke jurnal lain, temuan baru, dan orisinal. Disamping itu, ada kriteria dengan bobot berbeda dalam publikasi meliputi penamaan, kelembagaan penerbit, penyuntingan, penampilan, gaya penulisan, substansi, keberkalaan dan kewajiban pasca terbit. Bagaimana segala aspek tersebut dapat dipenuhi oleh mahasiswa yang terbentur tenggat waktu masa studi?
Perlu diperhatikan pula bahwa menerbitkan jurnal tidak semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan dana yang besar, tim pereview yang biasanya bergelar doktor, dan staf pengelola. Pereview pun biasanya dipilih yang telah menerbitkan banyak tulisan ilmiah. Jurnal juga tidak diperkenankan asal terbit. Komposisi sebuah jurnal biasanya haruslah 60% merupakan tulisan ilmiah dari perguruan tinggi lain.
            Publikasi tulisan ilmiah pada jurnal ilmiah bagi sarjana, master dan doktor sebagai syarat kelulusan dapat menyebabkan molornya masa studi. Mahasiswa justru berpotensi untuk mengerjakan tulisan ilmiah secara asal-asalan dengan pertimbangan ingin segera lulus dan publikasi jurnal hanya sebagai formalitas. Jika hal seperti itu terjadi, kualitas tulisan dan kualitas lulusan perlu dipertanyakan. Dengan membludaknya jurnal yang diterbitkan tiap tahun, terlebih apabila tulisan ilmiah abal-abal karena dikerjakan secara asal-asalan, siapakah yang akan membaca jurnal tersebut? Padahal ukuran berkualitasnya sebuah jurnal adalah sering dibaca dan digunakan sebagai rujukan. Dengan begitu, publikasi tulisan ilmiah untuk meningkatkan kualitas lulusan perguruan tinggi hanyalah angan-angan semata.
            Agaknya segala hal yang dibutuhkan untuk suksesnya kebijakan ini harus dipersiapkan lebih baik, termasuk prasarana serta publikasi yang jelas dan merata. Pemerintah jangan hanya ingin memperoleh hasil sebaik-baiknya dengan cara yang tidak instan. Kebijakan yang tidak dirumuskan secara matang hanya akan menimbulkan polemik yang akhirnya hanya akan menjadi bumerang yang balik menyerang.[]


1 Response to "Jurnal Ilmiah, Bukan Solusi Solutif Lulusan"

The Geeks mengatakan...

saya mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia
Artikel yang sangat menarik terimakasih ya infonya :)

Posting Komentar