Selain "Jurnal Merah Putih", salah satu bentuk output dari PPMI Kota Malang adalah "Media Online". Media Online ini berisi mengenai Isu-Isu ataupun Opini yang sedang menjadi "trending topic" di Kota Malang dan sekitarnya.

Musyawarah Kota PPMI Kota Malang Periode 2010-2011

Komik Strip: Suta&Soma "Mini"

Surat Edaran Dikti, dengan Kebijakan yang Membatasinya

Oleh. Ali
LPM Kavling 10

Dikti seolah kebakaran jenggot setelah mengetahui negara-negara tetangga khususnya di wilayah Asia Tenggara, banyak mempublikasikan hasil riset atau karya ilmiah akademisinya ke dalam jurnal di tingkat lokal maupun interlokal. Bisa dilihat dari Singapura yang menduduki posisi pertama dengan jumlah publikasi karya ilmiah 64.991 dari National University of Singapore dan predikat “juara”nya ASEAN, kedua di raih oleh Thailand dengan jumlah publikasi karya ilmiah 17.414 dari Mahidol University dan Malaysia diposisi ketiga dengan jumlah publikasi karya ilmiah 16.027 dari University of Malaya.

Kuantitas Tidak Sama Dengan Kualitas

oleh: Ainun Ni’matu Rohmah
LPM Perspektif

Postingan di laman sebuah jejaring sosial pada 12 Februari 2012 lalu, mendapat respon komentar yang cukup fantastis. Postingan itu berisi hasil scanning surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) tentang pemberlakuan kewajiban publikasi karya ilmiah. Bagi mahasiswa, “surat cinta” Dikti itu bukanlah aturan biasa. Terbilang mengejutkan, sebab aturan tersebut akan menentukan dan mungkin menantang kerja lebih keras dalam meraih gelar Sarjana.
Ya, seperti menunggu matahari terbit yang pasti akan muncul, peraturan teranyar Dikti itu mulai menghasilkan polemik. Tidak hanya umpatan sesal di situs jejaring sosial, kini beberapa pihak terkait bahkan mengambil langkah nyata menanggapi SK Dirjen DIKTI No.152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012. Salah satunya datang dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) yang dengan tegas memboikot aturan tersebut. Alasannya peraturan tersebut justru akan menyebabkan keresahan mahasiswa, pembuatan jurnal yang asal-asalan bahkan memperlambat kelulusan sarjana baru.

Jurnal Ilmiah, Bukan Solusi Solutif Lulusan

Oleh: Zahra Mahdiatari
LPM Perspektif FISIP UB

Perguruan tinggi dikejutkan dengan Surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) bernomor 152/E/T/2012 mengenai publikasi jurnal ilmiah. Lulusan S-1 wajib mempublikasikan karya ilmiah di jurnal ilmiah, sementara karya ilmiah lulusan S-2 harus dimuat di jurnal ilmiah nasional, dan untuk lulusan S-3 harus dimuat di jurnal internasional. Peraturan tersebut akan berlaku sejak Agustus 2012.
Kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh ketertinggalan Indonesia dibanding Malaysia dan Thailand dalam produktivitas penerbitan tulisan ilmiah. karena untuk mengukur kualitas pendidikan di suatu negara juga dilihat dari banyaknya tulisan ilmiah yang diterbitkan. Sebagai intelektual muda, mahasiswa membuktikan eksistensi dirinya melalui karya tulis. Menurut data yang telah dikaji, sejak tahun 1996-2010, Malaysia menerbitkan sedikitnya 55.211 jurnal ilmiah, disusul dengan Thailand sebanyak 58.931, sementara Indonesia memiliki 13.047 tulisan atau sepertujuh dari jumlah yang dihasilkan oleh negara tetangga.

Redaksi Surat Edaran Dikti, Butuh Evaluasi

Oleh. Santi
LPM Mimesis

Tahun ini, DIRJEN DIKTI mengeluarkan sebuah terobosan baru pada dunia pendidikan diperguruan tinggi di seluruh Indonesia. Diwujudkan dengan surat keputusan kebijakan baru, yakni mensyaratkan calon lulusan perguruan tinggi membuat jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan.
Dirjen Dikti, sebagai lembaga tertinggi yang memberi payung hukum seluruh perguruan  tinggi seluruh Indonesia, pun juga berhak mengeluarkan segala kebijakan terkait kemajuan pendidikan bangsa.

Penjelasan Teknis, itu Penting!

Oleh. Rahmah Risqi Widhiyastuti
S1 jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Negeri Malang

Shinta (nama samaran), terlihat bingung di tengah hiruk pikuk perkuliahan. Mahasiswa D3 jurusan tehnik elektro Universitas Negeri Malang ini mengaku kesulitan memenuhi kurikulum fakultas, untuk menerbitkan jurnal di ujung masa perkuliahannya. Pun juga Dani (nama samaran) mahasiswa sastra jepang yang tidak kalah panik, saat mengetahui pihak fakultas tengah menerapkan peraturan penyusunan jurnal ilmiah seperti yang disyaratkan Dikti. Ketidakpahaman hal teknis pembuatan jurnallah yang membuat menjadi permasalahan dasar mereka, hal ini disebabkan, belum adanya penjelasan lebih lanjut dari pihak fakultas tentang tehnik penyusunan Jurnal ilmiah.

Pendidikan Kita, Milik Siapa?

Oleh. Fitri Aulia
DEN PPMI (UAPM INOVASI)


Kiblat Pendidikan ada dimana?

Kapitalisme dengan segala bentuk penindasan pengkelasannya, sampai abad 21 ini, sama sekali tak juga mampu dipisahkan dari kehidupan manusia, bahkan menyatu dalam masa yang disebut era kapitalisme. Era kapitalisme disebut juga zaman modern, manusianya disebut masyarakat modern. Modernisme, sering dijadikan pijakan gaya hidup manusia masa kini. Parahnya tidak hanya eksis dalam proses produksi seperti saat lahirnya, kapitalisme bahkan semakin berkembang dan mewujud ke dalam segala lini, proyek besar itu mula-mula merembet ke perihal kebudayaan, hingga sampailah kepada pendidikan.

Pengelolaan Karya Ilmiah Perguruan Tinggi, Minim!

Oleh : Eko Prasetyo
LPM SIAR

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemdikbud, dianggap melahirkan kebijakan yang kurang matang pengkajiannya (surat edaran bernomor 152/E/T/2012). Kebijakan itu disebut-sebut terlalu terburu-buru dikeluarkan, hal itu bisa dilihat dari banyaknya statement kontra yang lahir menanggapi kebijakan tersebut.
Dikutip dari KOMPAS edisi Rabu, 8 Februari 2012: Jurnal Ilmiah bisa Online. Rektor Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendali Usman Rianse menyatakan sikap tidak setuju jika pembuatan jurnal harus diberlakukan secara merata untuk seluruh perguruan tinggi seindonesia, “Mestinya peraturan itu, dilakukan secara bertahap. Bagi beberapa perguruan tinggi luar jawa, perlu diberikan pelatihan terlebih dahulu dalam penulisan di jurnal dan pengelolaan jurnal”. Pernyataan itu selaras dengan pikiran Arif Satria, Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, “Kebijakan itu mestinya untuk program magister dan doktor lebih dulu”.